CERITA
SINGKAT KERAJAAN DAYEUHLUHUR
(
Bagian 3 )
Oleh: Drs. Dadang
Hermawan dan S.I. Fredyansah
G. RINEKSA PANCA SATYA
Rineksa Panca Satya merupakan dasar
falsafah dan jadi pedoman kehidupan di
kerajaan Dayeuhluhur. Rineksa Panca Satya diucapkan pertama kali pada waktu
penobatan Gagak Ngampar sebagai seorang raja di istana Salang Kuning.
Rineksa
Panca Satya dapat diartikan secara harfiah sebagai berikut:
-
RINEKSA :
berasal dari akar kata ‘reksa’ yg berarti memperhatikan sungguh-sungguh, dan
mendapat sisipan ‘in’. Sehingga Rineksa bermakna berbagai upaya untuk
mencurahkan perhatian dengan sungguh-sungguh.
-
PANCA :
lima
-
SATYA :
janji
Sehingga secara keseluruhan Rineksa Panca
Satya bermakna berbagai upaya untuk mencurahkan perhatian dengan
sungguh-sungguh terhadap lima janji.
1. Satya
pertama : ‘ANDIKA KUDU APAL RAGRAG NA KALAKAY DI WALUNGAN
CIJOLANG NEPI KA WALUNGAN GEDE’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu harus mengetahui
gugurnya daun kering di sungai Cijolang sampai sungai besar’
‘Sungai besar’ yang dimaksud
disini adalah Segara Anakan.
Falsafah
yang terkandung:
Dalam menjalani kehidupan, khususnya
berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab, kita harus mengetahui segala yang
berkenaan dengan tugas dan tanggung jawab tersebut sampai hal yang
sekecil-kecilnya. Satya pertama ini menghendaki manusia untuk manjadi orang
yang berpikir luas dan menyeluruh, bersikap adil, dan bijaksana.
2. Satya
kedua : ‘ANDIKA ULAH TANGGAH KA GUNUNG, TAPI KUDU TUNGKUL
KA LAUT JEUNG SING JADI SAGARA KAHIRUPAN’
Dalam
bahasa Indonesia:
‘Kamu
jangan tengadah ke gunung, tetapi harus menunduk ke laut dan hendaknya menjadi
lautan kehidupan’
Falsafah yang terkandung:
Orang tidak boleh sombong, tetapi sebaiknya
mesti rendah hati, menyejukkan, dan berkenan menampung segala permasalahan
orang lain dan memberikan bantuan selagi kita masih menjalani kehidupan.
3. Satya
ketiga : ‘ANDIKA ULAH NGALEUTIKEUN HATE BATUR KOMO NGAHINA
BISI MANTAK SIAL’
Dalam
bahasa Indonesia:
‘Kamu
jangan mengecilkan hati orang lain, apalagi menghina sebab dapat menyebabkan
sial’
Falsafah yang terkandung:
Orang tidak boleh menyepelekan, apalagi
menghina orang lain. Sebab hinaan tersebut bisa saja suatu ketika berbalik dan
membuat kesialan bagi orang yang menghina. Hendaknya kita memperlakukan orang
lain dengan baik sebagaimana kita ingin diperlakukan demikian.
4. Satya
keempat : ‘ANDIKA KUDU SARE BARI NYARING JEUNG NYARING BARI
SARE’
Dalam
bahasa Indonesia:
‘Kamu
harus tidur dalam bangun, dan bangun dalam tidur’
Falsafah yang terkandung:
Orang janganlah terlena oleh suatu keadaan.
Malainkan harus waspada dan selalu bersiap atas segala kemungkinan, tetapi itu
pun jangan membuat seseorang menjadi terbebani secara berlebihan. Harus pandai
membawa diri dan bersikap dalam situasi yang berbeda-beda.
5. Satya
kelima : ‘LEMAH CAI JEUNG SAEUSINA ALAM IEU TEH GETIH
JEUNG NYAWA ANDIKA ANU KUDU DIPUSTI-PUSTI JEUNG DIAGUNGKEUN’
Dalam
bahasa Indonesia:
‘Tanah
air dan seisi alam ini adalah darah dan nyawa kamu yang harus dirawat dan
diagungkan’
Falsafah yang terkandung:
Orang
harus mencintai, menghargai, serta mampu merawat tanah airnya sendiri dan juga
alam seisinya sebab semua itu adalah bagian dari kehidupan. Janganlah melupakan
asal-usul, apalagi merusak.
Jika diperhatikan, direnungkan, dan dihayati sungguh-sungguh
dari mulai judul sampai satya terakhir, maka Rineksa Panca Satya masih relevan
sebagai pedoman dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Oleh karena itu
falsafah bernilai luhur ini seyogyanya dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan
oleh siapapun.
H. TEMPAT KERAMAT DI
DAYEUHLUHUR
1) ARYA SALINGSINGAN/RADEN
PERWATASARI
Beliau adalah seorang adipati Kawali yang
berasal dari Panjalu. Pada masa hidupnya, Raden Perwatasari adalah seorang yang
menentang pendudukan Belanda. Beberapa kali beliau melakukan perlawanan, tetapi
karena perbedaan kekuatan yang jauh, akhirnya beliau kalah dan hidup
berpindah-pindah demi menghindari kejaran Belanda. Hingga akhirnya Raden
Perwatasari dapat ditangkap di Aria (sebuah dusun di Desa Bingkeng, Kecamatan
Dayeuhluhur sekarang).
Selama dalam pengejaran, sebenarnya Raden
Perwatasari sering berpapasan (pasalingsingan; bhs. sunda) dengan patroli
Belanda, namun tidak ketahuan. Dari kejadian tersebut
(berpapasan/pasalingsingan) akhirnya Raden Perwatasari mendapat julukan Arya
Salingsingan.
Raden Perwatasari dimakamkan di Dusun Aria,
Desa Bingkeng, Kecamatan Dayeuhluhur sekarang. Di komplek pemakaman tersebut
dikuburkan pula beberapa orang pengikut beliau. Makam Raden Perwatasari
tersebut pernah dicari dan dikunjungi pihak Pemda Cianjur. Menurut orang
Cianjur, Raden Perwatasari adalah pejuang dan pahlawan kabupaten Cianjur yang
akan diusulkan menjadi pahlawan nasional.
2) SABAKINGKIN
Adalah sebuah komplek pekuburan di tengah
sawah di sebelah barat lapangan Sabakingkin. Alkisah setelah kekalahan Sultan
Ageng Tirtayasa - Banten dalam pertempuran melawan Sultan Haji yang dibantu
Belanda, seorang yang sakti dari pihak Sultan Ageng Tirtayasa merasa kecewa
atas peristiwa tersebut dan merantau ke timur, ke daerah di mana banyak
kerajaan yang menentang Belanda. Hingga akhirnya orang ini sampai ke wilayah
kerajaan Dayeuhluhur dan diterima oleh raja. Bahkan dipersilahkan memilih
tempat tinggal yang dikehendaki. Konon kesaktian orang ini adalah lidahnya
dapat menjulur sangat panjang dan dapat dipergunakan pada pertempuran. Orang
ini kemudian meninggal di kemudian hari di tempat yang dipilihnya.
Nama Sabakingkin berasal dari dua suku
kata, yaitu ‘saba’ yg artinya pergi, dan ‘kingkin’ yang artinya sangat sedih.
Keramat Sabakingkin sampai sekarang masih banyak dikunjungi oleh orang-orang
yang menghendaki kesaktian.
I.
CERITA
LAIN
SURADIKA
Zaman dahulu, kerajaan Dayeuhluhur menganut
agama Hindu. Sedangkan pada waktu itu pula berkembang kesultanan Cirebon yang
menganut agama Islam. Sultan Cirebon berkeinginan untuk mengembangkan wilayah
sekaligus syiar agama ke kerajaan Dayeuhluhur. Maka diutuslah orang yang
memiliki kesaktian yang bernama Suradika. Beliau diperkirakan diutus ke
Dayeuhluhur antara zaman pemerintahan Prabu Arsagati atau Prabu Raksagati.
Suradika datang ke kerajaan Dayeuhluhur menuju istana dan menantang raja
Dayeuhluhur untuk mengadu kesaktian.
Adu kesaktian pertama yang dilakukan oleh
kedua orang tersebut adalah lomba makan. Pertandingan tersebut dilaksanakan di
halaman karaton dan disaksikan oleh pembesar serta rakyat kerajaan Dayeuhluhur.
Suradika diberi hidangan dengan lauk daging ayam, sementara sang Prabu makan
dengan lauk daging kambing. Ketika lomba tersebut berlangsung, terjadilah
keanehan. Daging ayam dalam hidangan Suradika ternyata mengeluarkan suara
berkokok, sedangkan daging kambing yang dimakan Raksagati bersuara seperti
kambing mengembik. Atas kejadian itu, adu kekuatan yang pertama ini dianggap
seimbang.
Kemudian dilakukan adu kekuatan yang kedua,
yaitu memasang bubu (perangkap ikan) di halaman istana yg tidak ada airnya.
Suatu kejaiban, di halaman istana yang tidak berair itu bubu sang Prabu
ternyata berhasil menangkap ikan. Tetapi lebih ajaib lagi, bubu Suradika ternyata berhasil menangkap
putri sang Prabu. Dengan kejadian itu, sang Prabu kemudian menyatakan diri
kalah, dan sebagai imbalan, Suradika kamudian ditikahkan dengan putri yang
terperangkap bubunya tersebut. Suradika lalu diangkat menjadi pejabat kerajaan.
Nama Suradika masih disebut-sebut di
daerah-daerah Kaso, Bingkeng, Panulisan (daerah persawahan) di sisi sungai
Cijolang. Menurut masyarakat di daerah itu, Suradika berjasa membuka areal
persawahan di beberapa tempat di sisi sungai Cijolang. Setelah meninggal,
Suradika dimakamkan di Cicadas, Malabar, kecamatan Wanareja sekarang.
Sumber-sumber
referensi:
1.
Tabloid Gosana
2. Buku
Kerajaan-kerajaan Di Tatar Sunda
3. Buku Sejarah Cilacap
terbitan tahun 1975 dan 2011
4. Buku Sejarah
kabupaten Ciamis
5. Lembaran Silsilah
kerajaan Dayeuhluhur versi keturunan Mataram
6. Narasumber lain:
-
Keturunan asli Dayeuhluhur
-
Keluarga kuncen pasarean Makam Jangkung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar