Selasa, 19 Februari 2013

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN DAYEUHLUHUR (Bagian 2)

CERITA  SINGKAT  KERAJAAN DAYEUHLUHUR
( Bagian 2 )
Oleh: Drs. Dadang Hermawan dan S.I. Fredyansah

4.  ADIPATI RAKSAPRAJA
     Raksapraja merupakan putra dari Prabu Raksagati. Pada waktu itu pengaruh Mataram sudah kuat sehingga Raksapraja kemudian menganut agama Islam, berbeda dengan raja-raja pendahulunya yang beragama Hindu.
     Pada masa pemerintahan Prabu Raksapraja, Mataram tengah berekspansi ke daerah barat demi persiapan melakukan penyerangan besar terhadap Belanda di Batavia. Untuk itu, Mataram melakukan siasat menaklukan kerajaan Dayeuhluhur dengan cara halus. Yaitu dengan memberikan seorang putri untuk diperistri oleh  Raksapraja yang kemudian putri tersebut menjadi permaisuri kerajaan. Tetapi belakangan diketahui bahwa putri tersebut ternyata adalah janda selir dari kerajaan Mataram yang sedang hamil 5 bulan pada waktu dinikahi Raksapraja.
     Setelah putri tersebut melahirkan, jabang bayi itu kemudian diberi nama Wirapraja. Pada waktu Wirapraja berumur 7 tahun, ia dibawa ke Mataram. Setelah Wirapraja dewasa, barulah ia kembali ke Dayeuhluhur.
     Pada masa pemerintaha Adipati Raksapraja, pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dipindahkan dari karaton Salang Kuning ke karaton Pasir Nangka, dan gelar Prabu berubah menjadi Adipati karena sudah kuatnya pengaruh kerajaan Mataram. Adipati Raksapraja diduga dimakamkan di Pasarean Kulon, daerah Cipancur, Dayeuhluhur sekarang.

5.  ADIPATI WIRAPRAJA
     Wirapraja kemudian menjadi raja ke-5 setelah Adipati Raksapraja. Dengan adanya skandal tersebut diatas, maka sebenarnya Adipati Wirapraja bukanlah raja turunan sunda, melainkan raja keturunan Mataram.
     Beliau ikut membantu rencana ekspansi Mataram ke arah barat sebelum dilakukannya serangan besar Mataram ke Batavia. Bantuan Adipati Wirapraja adalah berupa serangan ke daerah Ciancang, Ciamis sampai 3 kali (baca: sejarah Kabupaten Ciamis). Serangan Adipati Wirapraja yang pertama dan kedua berhasil membumihanguskan pusat pemerintahan kerajaan Ciancang, tetapi setiap kali selesai diserang, Ciancang selalu bangkit kembali. Hingga pada serangan yang ketiga Adipati Wirapraja tidak dapat membumihanguskan atau gagal menaklukan pusat kerajaan Ciancang dan meninggal disana. Jasadnya kemudian dibawa kembali ke Dayeuhluhur dan dimakamkan di Pasarean Kulon.
Menurut sumber sejarah Kabupaten Ciamis, pasukan Adipati Wirapraja yang dibantu Mataram ini disebut ‘Gerombolan ti Wetan’.
     Di daerah sunda dikenal falsafah ‘Nista, Maja, Utama’. Sehingga atas dasar tersebut, daerah Ciancang yang dapat tetap berdiri setelah serangan pertama (Nista), kedua (Maja), dan ketiga (Utama), sekarang dinamakan Utama.

6.  ADIPATI WIRADIKA I
     Wiradika I adalah putra kedua Adipati Wirapraja. Beliau berjasa dalam bidang pertanian dengan membuka areal persawahan seluas 7 bau (± 49.000 M2) di sebelah selatan Pasir Nangka dan membangun 2 kolam pusaka (Sawah Situ).
     Adipati Wiradika I tidak memiliki keturunan (mandul/gabug) karena itu pewaris tahta kerajaan Dayeuhluhur ditetapkan berdasar jalur keturunan yang lain yang masih sama-sama segaris dengan Prabu Wirapraja, raja sebelumnya.

7.  ADIPATI WIRADIKA II
     Wiradika II adalah putra kedua kakak Adipati Wiradika I yang bernama Raden Rangga Wirasraya. Adipati Wiradika II berjasa dalam bidang pertanian dengan membuka areal persawahan seluas 7 bau (± 49.000 M2) juga di komplek Sawah Jero. Adik beliau yang bernama Mas Patih Wijaya Krama juga berjasa membuka areal persawahan seluas 12 bau (± 84.000 M2) di sekitar sungai Cibaganjing, yang sekarang dikenal dengan nama sawah Gintung.
     Setelah meninggal Adipati Wiradika II  dan juga Mas Patih Wijaya Krama dimakamkan di pasarean Gunung Purwa.

8.  ADIPATI WIRADIKA III
     Wiradika III adalah putra keenam dari Adipati Wiradika II dengan gelar RADEN TUMENGGUNG PRAWIRANEGARA. Beliau aktif membantu dalam Perang Diponegoro secara sembunyi-sembunyi. Tetapi kemudian pihak Belanda mengetahui peran Adipati Wiradika III ini dalam membantu Pangeran Diponegoro sehingga beliau ditangkap dan diasingkan ke Padang-Sumatra pada tahun 1831 sampai meninggal.
     Sejak itu kerajaan Dayeuhluhur bubar, dan wilayahnya dirubah atas keputusan Belanda menjadi wilayah kabupaten Cilacap berdasarkan Besluit Gubernur Jendral Belanda Nu. 21 tanggal 21 Maret 1856. Sampai sekarang, tanggal 21 Maret diperingati sebagai hari jadi kabupaten Cilacap. Bekas wilayah kerajaan Dayeuhluhur merupakan 2/3 bagian dari keseluruhan luas kabupaten Cilacap. Adapun 1/3 sisanya merupakan bekas wilayah kekuasaan Kademangan/Distrik Adireja, bekas bagian dari kerajaan Pasir Luhur.

F.  PUSAT PEMERINTAHAN
     Pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dimulai di karaton Salang Kuning dan berpindah ke karaton Pasir Nangka.

a.  Salang Kuning
     Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dengan alasan tertentu didirikan di Salang Kuning. Bukti lain yang memperkuat dugaan tempat tersebut menjadi pusat pemerintahan adalah adanya daerah tepat di sebelah selatan Salang Kuning yang bernama Pamidangan yaitu tempat untuk bercengkerama/bersantai.
     Di areal bekas istana, sampai sekarang masih dianggap keramat, ditandai dengan adanya petilasan berupa batu. Pada waktu lampau, masyarakat sekitar masih sering mendengar bunyi alunan gamelan seperti orang hajatan yang sumbernya berasal dari petilasan tersebut. Hingga sekarang, masyarakat disana pada waktu senja hingga malam masih pamali (tabu) menjawab pertanyaan dari orang tidak dikenal, karena sering kedapatan ada pejalan kaki tak dikenal yang dapat menghilang secara tiba-tiba dengan ciri pakaian adat sunda zaman dahulu. Masyarakat Salang Kuning manganggap sosok tersebut sebagai salah satu orang kerajaan Dayeuhluhur dahulu dari karaton Salang Kuning.
     Pada waktu awal pemerintahan yang berpusat di Salang Kuning, wilayah kerajaan Dayeuhluhur kemudian dipecah menjadi 3 Kademangan, yaitu: Kademangan Dayeuhluhur dipimpin langsung oleh Gagak Ngampar, Kademangan Majenang dengan pusat di Gunung Padang dipimpin oleh Candi Laras, dan Kademangan Sidareja dengan pusat di Pegadingan, Sidareja dipimpin oleh Candi Kuning.

Adapun rute jalan dari pusat karaton Salang Kuning adalah sebagai berikut:
·      Ke arah Kademangan Majenang : Salang Kuning – Beber – sisi sungai Cibaganjing – hutan tutupan perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung – Candipura – Karang Gendot – Salebu
·      Ke arah Kademangan Sidareja : Salang Kuning - Beber – sisi sungai Cibaganjing – hutan tutupan perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung – Candipura – Madura – Cukang Leuleus – Cipari – Pegadingan
·      Ke arah Barat Daya : Salang Kuning – Cilulu – Matenggeng – Kamuning – Kuta (Jalur 1) – Panulisan (jalur 2)
·      Ke arah Barat : Salang Kuning – Cilulu – Matenggeng – Pongpet – Marga (Jawa Barat)
·      Ke arah barat laut : Salang Kuning – Sindang Langu – Pasir Manggu – Bingkeng – Kaso (Jawa barat)
·      Ke arah utara : Salang Kuning – Hanum – Serang – Cikondang – dst
     Mengingat bahwa kerajaan Dayeuhluhur didirikan salah satunya kerena alasan hendak dijadikan benteng terhadap serangan dari timur oleh kerajaan induk (Kawali), maka diduga rute jalan untuk melakukan hubungan dengan kerajaan Kawali adalah menempuh jalur Barat atau Barat laut.

b.  Pasir Nangka
     Pada waktu pengaruh Mataram Islam menguat, kerajaan Dayeuhluhur pun terkena imbasnya, ditandai dengan Adipati Raksapraja yang kemudian memeluk agama Islam. Karaton Salang Kuning nampak kurang memenuhi syarat sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang memeluk agama Islam. Diantaranya adalah masalah kebutuhan air. Maka pusat pemerintahan atau karaton dipindahkan ke Pasir nangka yang relatif memenuhi syarat untuk perkembangan tata cara kehidupan secara agama Islam.
     Bukti-bukti adanya karaton Pasir Nangka adalah:
1)   Adanya 2 buah kolam yang sekarang disebut Sawah Situ. Menurut bahasa sunda, Situ berarti kolam besar. Pada waktu lampau, di daerah tersebut banyak ditemukan tambang ijuk sebagai bekas tanggul kolam.
2)  Di daerah Pasir Nangka terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Putri, tempat para putri bersantai.
3)  Di sebelah barat Pasir Nangka terdapat kuburan yang disebut Pasarean Kulon, itu berarti orang yang menyebut ‘kulon/barat’ tentu berada di timur.
4)  Di sebelah utara pusat kerajaan (Pasir Nangka) disebut Gunung Purwa yang maknanya ‘awal/permulaan’
5)   Di sebelah selatan Pasir nangka, di jalur selokan (sumber air) pernah ditemukan bekas bangunan masjid kuno.

     Raja-raja yang memerintah di istana Pasir Nangka diduga kuat merupakan raja yang sudah memeluk agama Islam atau sudah terpengaruh Mataram Islam, dimulai dari Adipati Raksapraja.
     Sebagaimana kebanyakan karajaan di tatar Pasundan yang lain, kerajaan Dayeuhluhur pun tidak meninggalkan warisan  bangunan yang terbuat dari batu, sehingga sangat sulit menemukan jejak/bekas karaton  kerajaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar