CERITA
SINGKAT KERAJAAN DAYEUHLUHUR
(
Bagian 2 )
Oleh: Drs. Dadang
Hermawan dan S.I. Fredyansah
4. ADIPATI
RAKSAPRAJA
Raksapraja merupakan putra dari Prabu
Raksagati. Pada waktu itu pengaruh Mataram sudah kuat sehingga Raksapraja
kemudian menganut agama Islam, berbeda dengan raja-raja pendahulunya yang
beragama Hindu.
Pada masa pemerintahan Prabu Raksapraja,
Mataram tengah berekspansi ke daerah barat demi persiapan melakukan penyerangan
besar terhadap Belanda di Batavia. Untuk itu, Mataram melakukan siasat
menaklukan kerajaan Dayeuhluhur dengan cara halus. Yaitu dengan memberikan
seorang putri untuk diperistri oleh
Raksapraja yang kemudian putri tersebut menjadi permaisuri kerajaan.
Tetapi belakangan diketahui bahwa putri tersebut ternyata adalah janda selir
dari kerajaan Mataram yang sedang hamil 5 bulan pada waktu dinikahi Raksapraja.
Setelah putri tersebut melahirkan, jabang
bayi itu kemudian diberi nama Wirapraja. Pada waktu Wirapraja berumur 7 tahun,
ia dibawa ke Mataram. Setelah Wirapraja dewasa, barulah ia kembali ke
Dayeuhluhur.
Pada masa pemerintaha Adipati Raksapraja,
pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dipindahkan dari karaton Salang Kuning
ke karaton Pasir Nangka, dan gelar Prabu berubah menjadi Adipati karena sudah
kuatnya pengaruh kerajaan Mataram. Adipati Raksapraja diduga dimakamkan di
Pasarean Kulon, daerah Cipancur, Dayeuhluhur sekarang.
5. ADIPATI
WIRAPRAJA
Wirapraja kemudian menjadi raja ke-5
setelah Adipati Raksapraja. Dengan adanya skandal tersebut diatas, maka
sebenarnya Adipati Wirapraja bukanlah raja turunan sunda, melainkan raja
keturunan Mataram.
Beliau ikut membantu rencana ekspansi
Mataram ke arah barat sebelum dilakukannya serangan besar Mataram ke Batavia.
Bantuan Adipati Wirapraja adalah berupa serangan ke daerah Ciancang, Ciamis
sampai 3 kali (baca: sejarah Kabupaten
Ciamis). Serangan Adipati Wirapraja yang pertama dan kedua berhasil
membumihanguskan pusat pemerintahan kerajaan Ciancang, tetapi setiap kali
selesai diserang, Ciancang selalu bangkit kembali. Hingga pada serangan yang
ketiga Adipati Wirapraja tidak dapat membumihanguskan atau gagal menaklukan
pusat kerajaan Ciancang dan meninggal disana. Jasadnya kemudian dibawa kembali
ke Dayeuhluhur dan dimakamkan di Pasarean Kulon.
Menurut
sumber sejarah Kabupaten Ciamis, pasukan Adipati Wirapraja yang dibantu Mataram
ini disebut ‘Gerombolan ti Wetan’.
Di daerah sunda dikenal falsafah ‘Nista,
Maja, Utama’. Sehingga atas dasar tersebut, daerah Ciancang yang dapat tetap
berdiri setelah serangan pertama (Nista), kedua (Maja), dan ketiga (Utama),
sekarang dinamakan Utama.
6. ADIPATI
WIRADIKA I
Wiradika I adalah putra kedua Adipati
Wirapraja. Beliau berjasa dalam bidang pertanian dengan membuka areal
persawahan seluas 7 bau (± 49.000 M2) di sebelah selatan Pasir
Nangka dan membangun 2 kolam pusaka (Sawah Situ).
Adipati Wiradika I tidak memiliki keturunan
(mandul/gabug) karena itu pewaris tahta kerajaan Dayeuhluhur ditetapkan
berdasar jalur keturunan yang lain yang masih sama-sama segaris dengan Prabu
Wirapraja, raja sebelumnya.
7. ADIPATI
WIRADIKA II
Wiradika II adalah putra kedua kakak
Adipati Wiradika I yang bernama Raden Rangga Wirasraya.
Adipati Wiradika II berjasa dalam bidang pertanian dengan membuka areal
persawahan seluas 7 bau (± 49.000 M2) juga di komplek Sawah Jero. Adik
beliau yang bernama Mas Patih Wijaya Krama juga berjasa membuka areal
persawahan seluas 12 bau (± 84.000 M2) di sekitar sungai
Cibaganjing, yang sekarang dikenal dengan nama sawah Gintung.
Setelah meninggal Adipati Wiradika II dan juga Mas Patih Wijaya Krama dimakamkan di
pasarean Gunung Purwa.
8. ADIPATI
WIRADIKA III
Wiradika III adalah putra keenam dari
Adipati Wiradika II dengan gelar RADEN TUMENGGUNG PRAWIRANEGARA. Beliau aktif
membantu dalam Perang Diponegoro secara sembunyi-sembunyi. Tetapi kemudian
pihak Belanda mengetahui peran Adipati Wiradika III ini dalam membantu Pangeran
Diponegoro sehingga beliau ditangkap dan diasingkan ke Padang-Sumatra pada
tahun 1831 sampai meninggal.
Sejak itu kerajaan Dayeuhluhur bubar, dan
wilayahnya dirubah atas keputusan Belanda menjadi wilayah kabupaten Cilacap
berdasarkan Besluit Gubernur Jendral Belanda Nu. 21 tanggal 21 Maret 1856.
Sampai sekarang, tanggal 21 Maret diperingati sebagai hari jadi kabupaten
Cilacap. Bekas wilayah kerajaan Dayeuhluhur merupakan 2/3 bagian dari
keseluruhan luas kabupaten Cilacap. Adapun 1/3 sisanya merupakan bekas wilayah
kekuasaan Kademangan/Distrik Adireja, bekas bagian dari kerajaan Pasir Luhur.
F. PUSAT PEMERINTAHAN
Pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dimulai di karaton Salang
Kuning dan berpindah ke karaton Pasir Nangka.
a. Salang Kuning
Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa pusat pemerintahan
kerajaan Dayeuhluhur dengan alasan tertentu didirikan di Salang Kuning. Bukti
lain yang memperkuat dugaan tempat tersebut menjadi pusat pemerintahan adalah
adanya daerah tepat di sebelah selatan Salang Kuning yang bernama Pamidangan
yaitu tempat untuk bercengkerama/bersantai.
Di areal bekas istana, sampai sekarang masih dianggap keramat,
ditandai dengan adanya petilasan berupa batu. Pada waktu lampau, masyarakat
sekitar masih sering mendengar bunyi alunan gamelan seperti orang hajatan yang
sumbernya berasal dari petilasan tersebut. Hingga sekarang, masyarakat disana
pada waktu senja hingga malam masih pamali (tabu) menjawab pertanyaan dari
orang tidak dikenal, karena sering kedapatan ada pejalan kaki tak dikenal yang
dapat menghilang secara tiba-tiba dengan ciri pakaian adat sunda zaman dahulu.
Masyarakat Salang Kuning manganggap sosok tersebut sebagai salah satu orang
kerajaan Dayeuhluhur dahulu dari karaton Salang Kuning.
Pada waktu awal pemerintahan yang berpusat di Salang Kuning,
wilayah kerajaan Dayeuhluhur kemudian dipecah menjadi 3 Kademangan, yaitu:
Kademangan Dayeuhluhur dipimpin langsung oleh Gagak Ngampar, Kademangan
Majenang dengan pusat di Gunung Padang dipimpin oleh Candi Laras, dan
Kademangan Sidareja dengan pusat di Pegadingan, Sidareja dipimpin oleh Candi
Kuning.
Adapun
rute jalan dari pusat karaton Salang Kuning adalah sebagai berikut:
· Ke
arah Kademangan Majenang : Salang Kuning – Beber – sisi sungai Cibaganjing –
hutan tutupan perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung – Candipura – Karang
Gendot – Salebu
· Ke
arah Kademangan Sidareja : Salang Kuning - Beber – sisi sungai Cibaganjing –
hutan tutupan perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung – Candipura – Madura –
Cukang Leuleus – Cipari – Pegadingan
· Ke
arah Barat Daya : Salang Kuning – Cilulu – Matenggeng – Kamuning – Kuta (Jalur
1) – Panulisan (jalur 2)
· Ke
arah Barat : Salang Kuning – Cilulu – Matenggeng – Pongpet – Marga (Jawa Barat)
· Ke
arah barat laut : Salang Kuning – Sindang Langu – Pasir Manggu – Bingkeng –
Kaso (Jawa barat)
· Ke
arah utara : Salang Kuning – Hanum – Serang – Cikondang – dst
Mengingat bahwa kerajaan Dayeuhluhur
didirikan salah satunya kerena alasan hendak dijadikan benteng terhadap
serangan dari timur oleh kerajaan induk (Kawali), maka diduga rute jalan untuk
melakukan hubungan dengan kerajaan Kawali adalah menempuh jalur Barat atau
Barat laut.
b. Pasir Nangka
Pada waktu pengaruh Mataram Islam menguat, kerajaan Dayeuhluhur
pun terkena imbasnya, ditandai dengan Adipati Raksapraja yang kemudian memeluk
agama Islam. Karaton Salang Kuning nampak kurang memenuhi syarat sebagai pusat
pemerintahan kerajaan yang memeluk agama Islam. Diantaranya adalah masalah
kebutuhan air. Maka pusat pemerintahan atau karaton dipindahkan ke Pasir nangka
yang relatif memenuhi syarat untuk perkembangan tata cara kehidupan secara
agama Islam.
Bukti-bukti adanya karaton Pasir Nangka adalah:
1) Adanya
2 buah kolam yang sekarang disebut Sawah Situ. Menurut bahasa sunda, Situ
berarti kolam besar. Pada waktu lampau, di daerah tersebut banyak ditemukan
tambang ijuk sebagai bekas tanggul kolam.
2) Di
daerah Pasir Nangka terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Putri, tempat
para putri bersantai.
3) Di
sebelah barat Pasir Nangka terdapat kuburan yang disebut Pasarean Kulon, itu
berarti orang yang menyebut ‘kulon/barat’ tentu berada di timur.
4) Di
sebelah utara pusat kerajaan (Pasir Nangka) disebut Gunung Purwa yang maknanya
‘awal/permulaan’
5) Di
sebelah selatan Pasir nangka, di jalur selokan (sumber air) pernah ditemukan
bekas bangunan masjid kuno.
Raja-raja yang memerintah di istana Pasir
Nangka diduga kuat merupakan raja yang sudah memeluk agama Islam atau sudah
terpengaruh Mataram Islam, dimulai dari Adipati Raksapraja.
Sebagaimana kebanyakan karajaan di tatar
Pasundan yang lain, kerajaan Dayeuhluhur pun tidak meninggalkan warisan bangunan yang terbuat dari batu, sehingga
sangat sulit menemukan jejak/bekas karaton
kerajaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar