Kamis, 21 Februari 2013

SILSILAH KERAJAAN DAYEUHLUHUR

Silsilah Raja-raja Dayeuhluhur

PASAREAN KULON #3

Makam Adipati Raksapraja dan Adipati Wirapraja

PASAREAN KULON #2

Ki Dhepa sepuh nuju ningalian sabudeuran Pasarean Kulon

PASAREAN KULON #1

Pasarean Kulon di Cipancur, Dayeuhluhur

PASAREAN GUNUNG PURWA #4

Pohon Beringin besar yang tumbuh tepat diatas sebuah makam
di Pasarean Gunung Purwa

PASAREAN GUNUNG PURWA #3

Makam-makam utama di Pasarean Gunung Purwa.
Tempat Adipati Wiradika II dan Mas Patih Wijaya Krama dikebumikan.

PASAREAN GUNUNG PURWA #2

Makam Adipati Wiradika II

PASAREAN GUNUNG PURWA #1

Pasarean Gunung Purwa yang asri

Rabu, 20 Februari 2013

PASAREAN MAKAM JANGKUNG #3

Makam Prabu Raksagati
Bersebelahan dengan seorang tokoh yang diduga berasal dari Panjalu, Jawa Barat
yang dahulu berjasa membuka areal persawahan 'Sawah Lega'

PASAREAN MAKAM JANGKUNG #2

Jalan Masuk ke Pasarean Makam Jangkung / Pasarean Palalangon

PASAREAN MAKAM JANGKUNG #1

Jalan Raksagati atau biasa dikenal dengan tanjakan Palalangon.
Pohon Angsana raksasa yang terlihat pada gambar
tumbuh di Pasarean Makam Jangkung

PASAREAN KARANG BIRAHI #3

Makam Prabu Arsagati

PASAREAN KARANG BIRAHI #2

Pa Dadang nuju ngematkeun makam-makam di Pasarean Karang Birahi

PASAREAN KARANG BIRAHI #1

Pasarean Karang Birahi di blok Kebon Sahang, Dayeuhluhur

PASAREAN CANDI KUNING #2

Makam Candi Kuning

PASAREAN CANDI KUNING #1

Pasarean Candi Kuning di Kiadeg, sebelah atas Pasarean Gagak Ngampar

Selasa, 19 Februari 2013

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN DAYEUHLUHUR (Bagian 3)

CERITA  SINGKAT  KERAJAAN DAYEUHLUHUR
( Bagian 3 )
Oleh: Drs. Dadang Hermawan dan S.I. Fredyansah

G. RINEKSA PANCA SATYA
     Rineksa Panca Satya merupakan dasar falsafah  dan jadi pedoman kehidupan di kerajaan Dayeuhluhur. Rineksa Panca Satya diucapkan pertama kali pada waktu penobatan Gagak Ngampar sebagai seorang raja di istana Salang Kuning.
Rineksa Panca Satya dapat diartikan secara harfiah sebagai berikut:
-       RINEKSA  : berasal dari akar kata ‘reksa’ yg berarti memperhatikan sungguh-sungguh, dan mendapat sisipan ‘in’. Sehingga Rineksa bermakna berbagai upaya untuk mencurahkan perhatian dengan sungguh-sungguh.
-       PANCA      : lima
-       SATYA       : janji
Sehingga secara keseluruhan Rineksa Panca Satya bermakna berbagai upaya untuk mencurahkan perhatian dengan sungguh-sungguh terhadap lima janji.
    
1.  Satya pertama : ‘ANDIKA KUDU APAL RAGRAG NA KALAKAY DI WALUNGAN CIJOLANG NEPI KA WALUNGAN GEDE’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu harus mengetahui gugurnya daun kering di sungai Cijolang sampai sungai besar’
‘Sungai besar’ yang dimaksud disini adalah Segara Anakan.

Falsafah yang terkandung:
     Dalam menjalani kehidupan, khususnya berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab, kita harus mengetahui segala yang berkenaan dengan tugas dan tanggung jawab tersebut sampai hal yang sekecil-kecilnya. Satya pertama ini menghendaki manusia untuk manjadi orang yang berpikir luas dan menyeluruh, bersikap adil, dan bijaksana.

2.  Satya kedua : ‘ANDIKA ULAH TANGGAH KA GUNUNG, TAPI KUDU TUNGKUL KA LAUT JEUNG SING JADI SAGARA KAHIRUPAN’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu jangan tengadah ke gunung, tetapi harus menunduk ke laut dan hendaknya menjadi lautan kehidupan’
Falsafah yang terkandung:
     Orang tidak boleh sombong, tetapi sebaiknya mesti rendah hati, menyejukkan, dan berkenan menampung segala permasalahan orang lain dan memberikan bantuan selagi kita masih menjalani kehidupan.

3.   Satya ketiga : ‘ANDIKA ULAH NGALEUTIKEUN HATE BATUR KOMO NGAHINA BISI MANTAK SIAL’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu jangan mengecilkan hati orang lain, apalagi menghina sebab dapat menyebabkan sial’
Falsafah yang terkandung:
     Orang tidak boleh menyepelekan, apalagi menghina orang lain. Sebab hinaan tersebut bisa saja suatu ketika berbalik dan membuat kesialan bagi orang yang menghina. Hendaknya kita memperlakukan orang lain dengan baik sebagaimana kita ingin diperlakukan demikian.

4.  Satya keempat : ‘ANDIKA KUDU SARE BARI NYARING JEUNG NYARING BARI SARE’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu harus tidur dalam bangun, dan bangun dalam tidur’
Falsafah yang terkandung:
     Orang janganlah terlena oleh suatu keadaan. Malainkan harus waspada dan selalu bersiap atas segala kemungkinan, tetapi itu pun jangan membuat seseorang menjadi terbebani secara berlebihan. Harus pandai membawa diri dan bersikap dalam situasi yang berbeda-beda.

5.  Satya kelima : ‘LEMAH CAI JEUNG SAEUSINA ALAM IEU TEH GETIH JEUNG NYAWA ANDIKA ANU KUDU DIPUSTI-PUSTI JEUNG DIAGUNGKEUN’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Tanah air dan seisi alam ini adalah darah dan nyawa kamu yang harus dirawat dan diagungkan’
Falsafah yang terkandung:
Orang harus mencintai, menghargai, serta mampu merawat tanah airnya sendiri dan juga alam seisinya sebab semua itu adalah bagian dari kehidupan. Janganlah melupakan asal-usul, apalagi merusak.
     Jika diperhatikan, direnungkan, dan dihayati sungguh-sungguh dari mulai judul sampai satya terakhir, maka Rineksa Panca Satya masih relevan sebagai pedoman dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Oleh karena itu falsafah bernilai luhur ini seyogyanya dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan oleh siapapun.

H. TEMPAT KERAMAT DI DAYEUHLUHUR

1)  ARYA SALINGSINGAN/RADEN PERWATASARI
     Beliau adalah seorang adipati Kawali yang berasal dari Panjalu. Pada masa hidupnya, Raden Perwatasari adalah seorang yang menentang pendudukan Belanda. Beberapa kali beliau melakukan perlawanan, tetapi karena perbedaan kekuatan yang jauh, akhirnya beliau kalah dan hidup berpindah-pindah demi menghindari kejaran Belanda. Hingga akhirnya Raden Perwatasari dapat ditangkap di Aria (sebuah dusun di Desa Bingkeng, Kecamatan Dayeuhluhur sekarang).
     Selama dalam pengejaran, sebenarnya Raden Perwatasari sering berpapasan (pasalingsingan; bhs. sunda) dengan patroli Belanda, namun tidak ketahuan. Dari kejadian tersebut (berpapasan/pasalingsingan) akhirnya Raden Perwatasari mendapat julukan Arya Salingsingan.
     Raden Perwatasari dimakamkan di Dusun Aria, Desa Bingkeng, Kecamatan Dayeuhluhur sekarang. Di komplek pemakaman tersebut dikuburkan pula beberapa orang pengikut beliau. Makam Raden Perwatasari tersebut pernah dicari dan dikunjungi pihak Pemda Cianjur. Menurut orang Cianjur, Raden Perwatasari adalah pejuang dan pahlawan kabupaten Cianjur yang akan diusulkan menjadi pahlawan nasional.

2)  SABAKINGKIN
     Adalah sebuah komplek pekuburan di tengah sawah di sebelah barat lapangan Sabakingkin. Alkisah setelah kekalahan Sultan Ageng Tirtayasa - Banten dalam pertempuran melawan Sultan Haji yang dibantu Belanda, seorang yang sakti dari pihak Sultan Ageng Tirtayasa merasa kecewa atas peristiwa tersebut dan merantau ke timur, ke daerah di mana banyak kerajaan yang menentang Belanda. Hingga akhirnya orang ini sampai ke wilayah kerajaan Dayeuhluhur dan diterima oleh raja. Bahkan dipersilahkan memilih tempat tinggal yang dikehendaki. Konon kesaktian orang ini adalah lidahnya dapat menjulur sangat panjang dan dapat dipergunakan pada pertempuran. Orang ini kemudian meninggal di kemudian hari di tempat yang dipilihnya.
     Nama Sabakingkin berasal dari dua suku kata, yaitu ‘saba’ yg artinya pergi, dan ‘kingkin’ yang artinya sangat sedih. Keramat Sabakingkin sampai sekarang masih banyak dikunjungi oleh orang-orang yang menghendaki kesaktian.

I.    CERITA LAIN
     SURADIKA
     Zaman dahulu, kerajaan Dayeuhluhur menganut agama Hindu. Sedangkan pada waktu itu pula berkembang kesultanan Cirebon yang menganut agama Islam. Sultan Cirebon berkeinginan untuk mengembangkan wilayah sekaligus syiar agama ke kerajaan Dayeuhluhur. Maka diutuslah orang yang memiliki kesaktian yang bernama Suradika. Beliau diperkirakan diutus ke Dayeuhluhur antara zaman pemerintahan Prabu Arsagati atau Prabu Raksagati. Suradika datang ke kerajaan Dayeuhluhur menuju istana dan menantang raja Dayeuhluhur untuk mengadu kesaktian.
     Adu kesaktian pertama yang dilakukan oleh kedua orang tersebut adalah lomba makan. Pertandingan tersebut dilaksanakan di halaman karaton dan disaksikan oleh pembesar serta rakyat kerajaan Dayeuhluhur. Suradika diberi hidangan dengan lauk daging ayam, sementara sang Prabu makan dengan lauk daging kambing. Ketika lomba tersebut berlangsung, terjadilah keanehan. Daging ayam dalam hidangan Suradika ternyata mengeluarkan suara berkokok, sedangkan daging kambing yang dimakan Raksagati bersuara seperti kambing mengembik. Atas kejadian itu, adu kekuatan yang pertama ini dianggap seimbang.
     Kemudian dilakukan adu kekuatan yang kedua, yaitu memasang bubu (perangkap ikan) di halaman istana yg tidak ada airnya. Suatu kejaiban, di halaman istana yang tidak berair itu bubu sang Prabu ternyata berhasil menangkap ikan. Tetapi lebih ajaib lagi,  bubu Suradika ternyata berhasil menangkap putri sang Prabu. Dengan kejadian itu, sang Prabu kemudian menyatakan diri kalah, dan sebagai imbalan, Suradika kamudian ditikahkan dengan putri yang terperangkap bubunya tersebut. Suradika lalu diangkat menjadi pejabat kerajaan.
     Nama Suradika masih disebut-sebut di daerah-daerah Kaso, Bingkeng, Panulisan (daerah persawahan) di sisi sungai Cijolang. Menurut masyarakat di daerah itu, Suradika berjasa membuka areal persawahan di beberapa tempat di sisi sungai Cijolang. Setelah meninggal, Suradika dimakamkan di Cicadas, Malabar, kecamatan Wanareja sekarang.

Sumber-sumber referensi:
1.       Tabloid Gosana
2.      Buku Kerajaan-kerajaan Di Tatar Sunda
3.      Buku Sejarah Cilacap terbitan tahun 1975 dan 2011
4.      Buku Sejarah kabupaten Ciamis
5.      Lembaran Silsilah kerajaan Dayeuhluhur versi keturunan Mataram
6.      Narasumber lain:
-          Keturunan asli Dayeuhluhur
-          Keluarga kuncen pasarean Makam Jangkung

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN DAYEUHLUHUR (Bagian 2)

CERITA  SINGKAT  KERAJAAN DAYEUHLUHUR
( Bagian 2 )
Oleh: Drs. Dadang Hermawan dan S.I. Fredyansah

4.  ADIPATI RAKSAPRAJA
     Raksapraja merupakan putra dari Prabu Raksagati. Pada waktu itu pengaruh Mataram sudah kuat sehingga Raksapraja kemudian menganut agama Islam, berbeda dengan raja-raja pendahulunya yang beragama Hindu.
     Pada masa pemerintahan Prabu Raksapraja, Mataram tengah berekspansi ke daerah barat demi persiapan melakukan penyerangan besar terhadap Belanda di Batavia. Untuk itu, Mataram melakukan siasat menaklukan kerajaan Dayeuhluhur dengan cara halus. Yaitu dengan memberikan seorang putri untuk diperistri oleh  Raksapraja yang kemudian putri tersebut menjadi permaisuri kerajaan. Tetapi belakangan diketahui bahwa putri tersebut ternyata adalah janda selir dari kerajaan Mataram yang sedang hamil 5 bulan pada waktu dinikahi Raksapraja.
     Setelah putri tersebut melahirkan, jabang bayi itu kemudian diberi nama Wirapraja. Pada waktu Wirapraja berumur 7 tahun, ia dibawa ke Mataram. Setelah Wirapraja dewasa, barulah ia kembali ke Dayeuhluhur.
     Pada masa pemerintaha Adipati Raksapraja, pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dipindahkan dari karaton Salang Kuning ke karaton Pasir Nangka, dan gelar Prabu berubah menjadi Adipati karena sudah kuatnya pengaruh kerajaan Mataram. Adipati Raksapraja diduga dimakamkan di Pasarean Kulon, daerah Cipancur, Dayeuhluhur sekarang.

5.  ADIPATI WIRAPRAJA
     Wirapraja kemudian menjadi raja ke-5 setelah Adipati Raksapraja. Dengan adanya skandal tersebut diatas, maka sebenarnya Adipati Wirapraja bukanlah raja turunan sunda, melainkan raja keturunan Mataram.
     Beliau ikut membantu rencana ekspansi Mataram ke arah barat sebelum dilakukannya serangan besar Mataram ke Batavia. Bantuan Adipati Wirapraja adalah berupa serangan ke daerah Ciancang, Ciamis sampai 3 kali (baca: sejarah Kabupaten Ciamis). Serangan Adipati Wirapraja yang pertama dan kedua berhasil membumihanguskan pusat pemerintahan kerajaan Ciancang, tetapi setiap kali selesai diserang, Ciancang selalu bangkit kembali. Hingga pada serangan yang ketiga Adipati Wirapraja tidak dapat membumihanguskan atau gagal menaklukan pusat kerajaan Ciancang dan meninggal disana. Jasadnya kemudian dibawa kembali ke Dayeuhluhur dan dimakamkan di Pasarean Kulon.
Menurut sumber sejarah Kabupaten Ciamis, pasukan Adipati Wirapraja yang dibantu Mataram ini disebut ‘Gerombolan ti Wetan’.
     Di daerah sunda dikenal falsafah ‘Nista, Maja, Utama’. Sehingga atas dasar tersebut, daerah Ciancang yang dapat tetap berdiri setelah serangan pertama (Nista), kedua (Maja), dan ketiga (Utama), sekarang dinamakan Utama.

6.  ADIPATI WIRADIKA I
     Wiradika I adalah putra kedua Adipati Wirapraja. Beliau berjasa dalam bidang pertanian dengan membuka areal persawahan seluas 7 bau (± 49.000 M2) di sebelah selatan Pasir Nangka dan membangun 2 kolam pusaka (Sawah Situ).
     Adipati Wiradika I tidak memiliki keturunan (mandul/gabug) karena itu pewaris tahta kerajaan Dayeuhluhur ditetapkan berdasar jalur keturunan yang lain yang masih sama-sama segaris dengan Prabu Wirapraja, raja sebelumnya.

7.  ADIPATI WIRADIKA II
     Wiradika II adalah putra kedua kakak Adipati Wiradika I yang bernama Raden Rangga Wirasraya. Adipati Wiradika II berjasa dalam bidang pertanian dengan membuka areal persawahan seluas 7 bau (± 49.000 M2) juga di komplek Sawah Jero. Adik beliau yang bernama Mas Patih Wijaya Krama juga berjasa membuka areal persawahan seluas 12 bau (± 84.000 M2) di sekitar sungai Cibaganjing, yang sekarang dikenal dengan nama sawah Gintung.
     Setelah meninggal Adipati Wiradika II  dan juga Mas Patih Wijaya Krama dimakamkan di pasarean Gunung Purwa.

8.  ADIPATI WIRADIKA III
     Wiradika III adalah putra keenam dari Adipati Wiradika II dengan gelar RADEN TUMENGGUNG PRAWIRANEGARA. Beliau aktif membantu dalam Perang Diponegoro secara sembunyi-sembunyi. Tetapi kemudian pihak Belanda mengetahui peran Adipati Wiradika III ini dalam membantu Pangeran Diponegoro sehingga beliau ditangkap dan diasingkan ke Padang-Sumatra pada tahun 1831 sampai meninggal.
     Sejak itu kerajaan Dayeuhluhur bubar, dan wilayahnya dirubah atas keputusan Belanda menjadi wilayah kabupaten Cilacap berdasarkan Besluit Gubernur Jendral Belanda Nu. 21 tanggal 21 Maret 1856. Sampai sekarang, tanggal 21 Maret diperingati sebagai hari jadi kabupaten Cilacap. Bekas wilayah kerajaan Dayeuhluhur merupakan 2/3 bagian dari keseluruhan luas kabupaten Cilacap. Adapun 1/3 sisanya merupakan bekas wilayah kekuasaan Kademangan/Distrik Adireja, bekas bagian dari kerajaan Pasir Luhur.

F.  PUSAT PEMERINTAHAN
     Pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dimulai di karaton Salang Kuning dan berpindah ke karaton Pasir Nangka.

a.  Salang Kuning
     Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dengan alasan tertentu didirikan di Salang Kuning. Bukti lain yang memperkuat dugaan tempat tersebut menjadi pusat pemerintahan adalah adanya daerah tepat di sebelah selatan Salang Kuning yang bernama Pamidangan yaitu tempat untuk bercengkerama/bersantai.
     Di areal bekas istana, sampai sekarang masih dianggap keramat, ditandai dengan adanya petilasan berupa batu. Pada waktu lampau, masyarakat sekitar masih sering mendengar bunyi alunan gamelan seperti orang hajatan yang sumbernya berasal dari petilasan tersebut. Hingga sekarang, masyarakat disana pada waktu senja hingga malam masih pamali (tabu) menjawab pertanyaan dari orang tidak dikenal, karena sering kedapatan ada pejalan kaki tak dikenal yang dapat menghilang secara tiba-tiba dengan ciri pakaian adat sunda zaman dahulu. Masyarakat Salang Kuning manganggap sosok tersebut sebagai salah satu orang kerajaan Dayeuhluhur dahulu dari karaton Salang Kuning.
     Pada waktu awal pemerintahan yang berpusat di Salang Kuning, wilayah kerajaan Dayeuhluhur kemudian dipecah menjadi 3 Kademangan, yaitu: Kademangan Dayeuhluhur dipimpin langsung oleh Gagak Ngampar, Kademangan Majenang dengan pusat di Gunung Padang dipimpin oleh Candi Laras, dan Kademangan Sidareja dengan pusat di Pegadingan, Sidareja dipimpin oleh Candi Kuning.

Adapun rute jalan dari pusat karaton Salang Kuning adalah sebagai berikut:
·      Ke arah Kademangan Majenang : Salang Kuning – Beber – sisi sungai Cibaganjing – hutan tutupan perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung – Candipura – Karang Gendot – Salebu
·      Ke arah Kademangan Sidareja : Salang Kuning - Beber – sisi sungai Cibaganjing – hutan tutupan perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung – Candipura – Madura – Cukang Leuleus – Cipari – Pegadingan
·      Ke arah Barat Daya : Salang Kuning – Cilulu – Matenggeng – Kamuning – Kuta (Jalur 1) – Panulisan (jalur 2)
·      Ke arah Barat : Salang Kuning – Cilulu – Matenggeng – Pongpet – Marga (Jawa Barat)
·      Ke arah barat laut : Salang Kuning – Sindang Langu – Pasir Manggu – Bingkeng – Kaso (Jawa barat)
·      Ke arah utara : Salang Kuning – Hanum – Serang – Cikondang – dst
     Mengingat bahwa kerajaan Dayeuhluhur didirikan salah satunya kerena alasan hendak dijadikan benteng terhadap serangan dari timur oleh kerajaan induk (Kawali), maka diduga rute jalan untuk melakukan hubungan dengan kerajaan Kawali adalah menempuh jalur Barat atau Barat laut.

b.  Pasir Nangka
     Pada waktu pengaruh Mataram Islam menguat, kerajaan Dayeuhluhur pun terkena imbasnya, ditandai dengan Adipati Raksapraja yang kemudian memeluk agama Islam. Karaton Salang Kuning nampak kurang memenuhi syarat sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang memeluk agama Islam. Diantaranya adalah masalah kebutuhan air. Maka pusat pemerintahan atau karaton dipindahkan ke Pasir nangka yang relatif memenuhi syarat untuk perkembangan tata cara kehidupan secara agama Islam.
     Bukti-bukti adanya karaton Pasir Nangka adalah:
1)   Adanya 2 buah kolam yang sekarang disebut Sawah Situ. Menurut bahasa sunda, Situ berarti kolam besar. Pada waktu lampau, di daerah tersebut banyak ditemukan tambang ijuk sebagai bekas tanggul kolam.
2)  Di daerah Pasir Nangka terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Putri, tempat para putri bersantai.
3)  Di sebelah barat Pasir Nangka terdapat kuburan yang disebut Pasarean Kulon, itu berarti orang yang menyebut ‘kulon/barat’ tentu berada di timur.
4)  Di sebelah utara pusat kerajaan (Pasir Nangka) disebut Gunung Purwa yang maknanya ‘awal/permulaan’
5)   Di sebelah selatan Pasir nangka, di jalur selokan (sumber air) pernah ditemukan bekas bangunan masjid kuno.

     Raja-raja yang memerintah di istana Pasir Nangka diduga kuat merupakan raja yang sudah memeluk agama Islam atau sudah terpengaruh Mataram Islam, dimulai dari Adipati Raksapraja.
     Sebagaimana kebanyakan karajaan di tatar Pasundan yang lain, kerajaan Dayeuhluhur pun tidak meninggalkan warisan  bangunan yang terbuat dari batu, sehingga sangat sulit menemukan jejak/bekas karaton  kerajaan.