Bekerja pada tempatnya, berpikir pada waktunya. Kalau sedang bekerja, tak usah banyak berpikir. Kalau sedang berpikir, jangan banyak bekerja......
Kamis, 21 Februari 2013
Rabu, 20 Februari 2013
Selasa, 19 Februari 2013
SEJARAH SINGKAT KERAJAAN DAYEUHLUHUR (Bagian 3)
CERITA
SINGKAT KERAJAAN DAYEUHLUHUR
(
Bagian 3 )
Oleh: Drs. Dadang
Hermawan dan S.I. Fredyansah
G. RINEKSA PANCA SATYA
Rineksa Panca Satya merupakan dasar
falsafah dan jadi pedoman kehidupan di
kerajaan Dayeuhluhur. Rineksa Panca Satya diucapkan pertama kali pada waktu
penobatan Gagak Ngampar sebagai seorang raja di istana Salang Kuning.
Rineksa
Panca Satya dapat diartikan secara harfiah sebagai berikut:
-
RINEKSA :
berasal dari akar kata ‘reksa’ yg berarti memperhatikan sungguh-sungguh, dan
mendapat sisipan ‘in’. Sehingga Rineksa bermakna berbagai upaya untuk
mencurahkan perhatian dengan sungguh-sungguh.
-
PANCA :
lima
-
SATYA :
janji
Sehingga secara keseluruhan Rineksa Panca
Satya bermakna berbagai upaya untuk mencurahkan perhatian dengan
sungguh-sungguh terhadap lima janji.
1. Satya
pertama : ‘ANDIKA KUDU APAL RAGRAG NA KALAKAY DI WALUNGAN
CIJOLANG NEPI KA WALUNGAN GEDE’
Dalam bahasa Indonesia:
‘Kamu harus mengetahui
gugurnya daun kering di sungai Cijolang sampai sungai besar’
‘Sungai besar’ yang dimaksud
disini adalah Segara Anakan.
Falsafah
yang terkandung:
Dalam menjalani kehidupan, khususnya
berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab, kita harus mengetahui segala yang
berkenaan dengan tugas dan tanggung jawab tersebut sampai hal yang
sekecil-kecilnya. Satya pertama ini menghendaki manusia untuk manjadi orang
yang berpikir luas dan menyeluruh, bersikap adil, dan bijaksana.
2. Satya
kedua : ‘ANDIKA ULAH TANGGAH KA GUNUNG, TAPI KUDU TUNGKUL
KA LAUT JEUNG SING JADI SAGARA KAHIRUPAN’
Dalam
bahasa Indonesia:
‘Kamu
jangan tengadah ke gunung, tetapi harus menunduk ke laut dan hendaknya menjadi
lautan kehidupan’
Falsafah yang terkandung:
Orang tidak boleh sombong, tetapi sebaiknya
mesti rendah hati, menyejukkan, dan berkenan menampung segala permasalahan
orang lain dan memberikan bantuan selagi kita masih menjalani kehidupan.
3. Satya
ketiga : ‘ANDIKA ULAH NGALEUTIKEUN HATE BATUR KOMO NGAHINA
BISI MANTAK SIAL’
Dalam
bahasa Indonesia:
‘Kamu
jangan mengecilkan hati orang lain, apalagi menghina sebab dapat menyebabkan
sial’
Falsafah yang terkandung:
Orang tidak boleh menyepelekan, apalagi
menghina orang lain. Sebab hinaan tersebut bisa saja suatu ketika berbalik dan
membuat kesialan bagi orang yang menghina. Hendaknya kita memperlakukan orang
lain dengan baik sebagaimana kita ingin diperlakukan demikian.
4. Satya
keempat : ‘ANDIKA KUDU SARE BARI NYARING JEUNG NYARING BARI
SARE’
Dalam
bahasa Indonesia:
‘Kamu
harus tidur dalam bangun, dan bangun dalam tidur’
Falsafah yang terkandung:
Orang janganlah terlena oleh suatu keadaan.
Malainkan harus waspada dan selalu bersiap atas segala kemungkinan, tetapi itu
pun jangan membuat seseorang menjadi terbebani secara berlebihan. Harus pandai
membawa diri dan bersikap dalam situasi yang berbeda-beda.
5. Satya
kelima : ‘LEMAH CAI JEUNG SAEUSINA ALAM IEU TEH GETIH
JEUNG NYAWA ANDIKA ANU KUDU DIPUSTI-PUSTI JEUNG DIAGUNGKEUN’
Dalam
bahasa Indonesia:
‘Tanah
air dan seisi alam ini adalah darah dan nyawa kamu yang harus dirawat dan
diagungkan’
Falsafah yang terkandung:
Orang
harus mencintai, menghargai, serta mampu merawat tanah airnya sendiri dan juga
alam seisinya sebab semua itu adalah bagian dari kehidupan. Janganlah melupakan
asal-usul, apalagi merusak.
Jika diperhatikan, direnungkan, dan dihayati sungguh-sungguh
dari mulai judul sampai satya terakhir, maka Rineksa Panca Satya masih relevan
sebagai pedoman dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Oleh karena itu
falsafah bernilai luhur ini seyogyanya dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan
oleh siapapun.
H. TEMPAT KERAMAT DI
DAYEUHLUHUR
1) ARYA SALINGSINGAN/RADEN
PERWATASARI
Beliau adalah seorang adipati Kawali yang
berasal dari Panjalu. Pada masa hidupnya, Raden Perwatasari adalah seorang yang
menentang pendudukan Belanda. Beberapa kali beliau melakukan perlawanan, tetapi
karena perbedaan kekuatan yang jauh, akhirnya beliau kalah dan hidup
berpindah-pindah demi menghindari kejaran Belanda. Hingga akhirnya Raden
Perwatasari dapat ditangkap di Aria (sebuah dusun di Desa Bingkeng, Kecamatan
Dayeuhluhur sekarang).
Selama dalam pengejaran, sebenarnya Raden
Perwatasari sering berpapasan (pasalingsingan; bhs. sunda) dengan patroli
Belanda, namun tidak ketahuan. Dari kejadian tersebut
(berpapasan/pasalingsingan) akhirnya Raden Perwatasari mendapat julukan Arya
Salingsingan.
Raden Perwatasari dimakamkan di Dusun Aria,
Desa Bingkeng, Kecamatan Dayeuhluhur sekarang. Di komplek pemakaman tersebut
dikuburkan pula beberapa orang pengikut beliau. Makam Raden Perwatasari
tersebut pernah dicari dan dikunjungi pihak Pemda Cianjur. Menurut orang
Cianjur, Raden Perwatasari adalah pejuang dan pahlawan kabupaten Cianjur yang
akan diusulkan menjadi pahlawan nasional.
2) SABAKINGKIN
Adalah sebuah komplek pekuburan di tengah
sawah di sebelah barat lapangan Sabakingkin. Alkisah setelah kekalahan Sultan
Ageng Tirtayasa - Banten dalam pertempuran melawan Sultan Haji yang dibantu
Belanda, seorang yang sakti dari pihak Sultan Ageng Tirtayasa merasa kecewa
atas peristiwa tersebut dan merantau ke timur, ke daerah di mana banyak
kerajaan yang menentang Belanda. Hingga akhirnya orang ini sampai ke wilayah
kerajaan Dayeuhluhur dan diterima oleh raja. Bahkan dipersilahkan memilih
tempat tinggal yang dikehendaki. Konon kesaktian orang ini adalah lidahnya
dapat menjulur sangat panjang dan dapat dipergunakan pada pertempuran. Orang
ini kemudian meninggal di kemudian hari di tempat yang dipilihnya.
Nama Sabakingkin berasal dari dua suku
kata, yaitu ‘saba’ yg artinya pergi, dan ‘kingkin’ yang artinya sangat sedih.
Keramat Sabakingkin sampai sekarang masih banyak dikunjungi oleh orang-orang
yang menghendaki kesaktian.
I.
CERITA
LAIN
SURADIKA
Zaman dahulu, kerajaan Dayeuhluhur menganut
agama Hindu. Sedangkan pada waktu itu pula berkembang kesultanan Cirebon yang
menganut agama Islam. Sultan Cirebon berkeinginan untuk mengembangkan wilayah
sekaligus syiar agama ke kerajaan Dayeuhluhur. Maka diutuslah orang yang
memiliki kesaktian yang bernama Suradika. Beliau diperkirakan diutus ke
Dayeuhluhur antara zaman pemerintahan Prabu Arsagati atau Prabu Raksagati.
Suradika datang ke kerajaan Dayeuhluhur menuju istana dan menantang raja
Dayeuhluhur untuk mengadu kesaktian.
Adu kesaktian pertama yang dilakukan oleh
kedua orang tersebut adalah lomba makan. Pertandingan tersebut dilaksanakan di
halaman karaton dan disaksikan oleh pembesar serta rakyat kerajaan Dayeuhluhur.
Suradika diberi hidangan dengan lauk daging ayam, sementara sang Prabu makan
dengan lauk daging kambing. Ketika lomba tersebut berlangsung, terjadilah
keanehan. Daging ayam dalam hidangan Suradika ternyata mengeluarkan suara
berkokok, sedangkan daging kambing yang dimakan Raksagati bersuara seperti
kambing mengembik. Atas kejadian itu, adu kekuatan yang pertama ini dianggap
seimbang.
Kemudian dilakukan adu kekuatan yang kedua,
yaitu memasang bubu (perangkap ikan) di halaman istana yg tidak ada airnya.
Suatu kejaiban, di halaman istana yang tidak berair itu bubu sang Prabu
ternyata berhasil menangkap ikan. Tetapi lebih ajaib lagi, bubu Suradika ternyata berhasil menangkap
putri sang Prabu. Dengan kejadian itu, sang Prabu kemudian menyatakan diri
kalah, dan sebagai imbalan, Suradika kamudian ditikahkan dengan putri yang
terperangkap bubunya tersebut. Suradika lalu diangkat menjadi pejabat kerajaan.
Nama Suradika masih disebut-sebut di
daerah-daerah Kaso, Bingkeng, Panulisan (daerah persawahan) di sisi sungai
Cijolang. Menurut masyarakat di daerah itu, Suradika berjasa membuka areal
persawahan di beberapa tempat di sisi sungai Cijolang. Setelah meninggal,
Suradika dimakamkan di Cicadas, Malabar, kecamatan Wanareja sekarang.
Sumber-sumber
referensi:
1.
Tabloid Gosana
2. Buku
Kerajaan-kerajaan Di Tatar Sunda
3. Buku Sejarah Cilacap
terbitan tahun 1975 dan 2011
4. Buku Sejarah
kabupaten Ciamis
5. Lembaran Silsilah
kerajaan Dayeuhluhur versi keturunan Mataram
6. Narasumber lain:
-
Keturunan asli Dayeuhluhur
-
Keluarga kuncen pasarean Makam Jangkung
SEJARAH SINGKAT KERAJAAN DAYEUHLUHUR (Bagian 2)
CERITA
SINGKAT KERAJAAN DAYEUHLUHUR
(
Bagian 2 )
Oleh: Drs. Dadang
Hermawan dan S.I. Fredyansah
4. ADIPATI
RAKSAPRAJA
Raksapraja merupakan putra dari Prabu
Raksagati. Pada waktu itu pengaruh Mataram sudah kuat sehingga Raksapraja
kemudian menganut agama Islam, berbeda dengan raja-raja pendahulunya yang
beragama Hindu.
Pada masa pemerintahan Prabu Raksapraja,
Mataram tengah berekspansi ke daerah barat demi persiapan melakukan penyerangan
besar terhadap Belanda di Batavia. Untuk itu, Mataram melakukan siasat
menaklukan kerajaan Dayeuhluhur dengan cara halus. Yaitu dengan memberikan
seorang putri untuk diperistri oleh
Raksapraja yang kemudian putri tersebut menjadi permaisuri kerajaan.
Tetapi belakangan diketahui bahwa putri tersebut ternyata adalah janda selir
dari kerajaan Mataram yang sedang hamil 5 bulan pada waktu dinikahi Raksapraja.
Setelah putri tersebut melahirkan, jabang
bayi itu kemudian diberi nama Wirapraja. Pada waktu Wirapraja berumur 7 tahun,
ia dibawa ke Mataram. Setelah Wirapraja dewasa, barulah ia kembali ke
Dayeuhluhur.
Pada masa pemerintaha Adipati Raksapraja,
pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dipindahkan dari karaton Salang Kuning
ke karaton Pasir Nangka, dan gelar Prabu berubah menjadi Adipati karena sudah
kuatnya pengaruh kerajaan Mataram. Adipati Raksapraja diduga dimakamkan di
Pasarean Kulon, daerah Cipancur, Dayeuhluhur sekarang.
5. ADIPATI
WIRAPRAJA
Wirapraja kemudian menjadi raja ke-5
setelah Adipati Raksapraja. Dengan adanya skandal tersebut diatas, maka
sebenarnya Adipati Wirapraja bukanlah raja turunan sunda, melainkan raja
keturunan Mataram.
Beliau ikut membantu rencana ekspansi
Mataram ke arah barat sebelum dilakukannya serangan besar Mataram ke Batavia.
Bantuan Adipati Wirapraja adalah berupa serangan ke daerah Ciancang, Ciamis
sampai 3 kali (baca: sejarah Kabupaten
Ciamis). Serangan Adipati Wirapraja yang pertama dan kedua berhasil
membumihanguskan pusat pemerintahan kerajaan Ciancang, tetapi setiap kali
selesai diserang, Ciancang selalu bangkit kembali. Hingga pada serangan yang
ketiga Adipati Wirapraja tidak dapat membumihanguskan atau gagal menaklukan
pusat kerajaan Ciancang dan meninggal disana. Jasadnya kemudian dibawa kembali
ke Dayeuhluhur dan dimakamkan di Pasarean Kulon.
Menurut
sumber sejarah Kabupaten Ciamis, pasukan Adipati Wirapraja yang dibantu Mataram
ini disebut ‘Gerombolan ti Wetan’.
Di daerah sunda dikenal falsafah ‘Nista,
Maja, Utama’. Sehingga atas dasar tersebut, daerah Ciancang yang dapat tetap
berdiri setelah serangan pertama (Nista), kedua (Maja), dan ketiga (Utama),
sekarang dinamakan Utama.
6. ADIPATI
WIRADIKA I
Wiradika I adalah putra kedua Adipati
Wirapraja. Beliau berjasa dalam bidang pertanian dengan membuka areal
persawahan seluas 7 bau (± 49.000 M2) di sebelah selatan Pasir
Nangka dan membangun 2 kolam pusaka (Sawah Situ).
Adipati Wiradika I tidak memiliki keturunan
(mandul/gabug) karena itu pewaris tahta kerajaan Dayeuhluhur ditetapkan
berdasar jalur keturunan yang lain yang masih sama-sama segaris dengan Prabu
Wirapraja, raja sebelumnya.
7. ADIPATI
WIRADIKA II
Wiradika II adalah putra kedua kakak
Adipati Wiradika I yang bernama Raden Rangga Wirasraya.
Adipati Wiradika II berjasa dalam bidang pertanian dengan membuka areal
persawahan seluas 7 bau (± 49.000 M2) juga di komplek Sawah Jero. Adik
beliau yang bernama Mas Patih Wijaya Krama juga berjasa membuka areal
persawahan seluas 12 bau (± 84.000 M2) di sekitar sungai
Cibaganjing, yang sekarang dikenal dengan nama sawah Gintung.
Setelah meninggal Adipati Wiradika II dan juga Mas Patih Wijaya Krama dimakamkan di
pasarean Gunung Purwa.
8. ADIPATI
WIRADIKA III
Wiradika III adalah putra keenam dari
Adipati Wiradika II dengan gelar RADEN TUMENGGUNG PRAWIRANEGARA. Beliau aktif
membantu dalam Perang Diponegoro secara sembunyi-sembunyi. Tetapi kemudian
pihak Belanda mengetahui peran Adipati Wiradika III ini dalam membantu Pangeran
Diponegoro sehingga beliau ditangkap dan diasingkan ke Padang-Sumatra pada
tahun 1831 sampai meninggal.
Sejak itu kerajaan Dayeuhluhur bubar, dan
wilayahnya dirubah atas keputusan Belanda menjadi wilayah kabupaten Cilacap
berdasarkan Besluit Gubernur Jendral Belanda Nu. 21 tanggal 21 Maret 1856.
Sampai sekarang, tanggal 21 Maret diperingati sebagai hari jadi kabupaten
Cilacap. Bekas wilayah kerajaan Dayeuhluhur merupakan 2/3 bagian dari
keseluruhan luas kabupaten Cilacap. Adapun 1/3 sisanya merupakan bekas wilayah
kekuasaan Kademangan/Distrik Adireja, bekas bagian dari kerajaan Pasir Luhur.
F. PUSAT PEMERINTAHAN
Pusat pemerintahan kerajaan Dayeuhluhur dimulai di karaton Salang
Kuning dan berpindah ke karaton Pasir Nangka.
a. Salang Kuning
Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa pusat pemerintahan
kerajaan Dayeuhluhur dengan alasan tertentu didirikan di Salang Kuning. Bukti
lain yang memperkuat dugaan tempat tersebut menjadi pusat pemerintahan adalah
adanya daerah tepat di sebelah selatan Salang Kuning yang bernama Pamidangan
yaitu tempat untuk bercengkerama/bersantai.
Di areal bekas istana, sampai sekarang masih dianggap keramat,
ditandai dengan adanya petilasan berupa batu. Pada waktu lampau, masyarakat
sekitar masih sering mendengar bunyi alunan gamelan seperti orang hajatan yang
sumbernya berasal dari petilasan tersebut. Hingga sekarang, masyarakat disana
pada waktu senja hingga malam masih pamali (tabu) menjawab pertanyaan dari
orang tidak dikenal, karena sering kedapatan ada pejalan kaki tak dikenal yang
dapat menghilang secara tiba-tiba dengan ciri pakaian adat sunda zaman dahulu.
Masyarakat Salang Kuning manganggap sosok tersebut sebagai salah satu orang
kerajaan Dayeuhluhur dahulu dari karaton Salang Kuning.
Pada waktu awal pemerintahan yang berpusat di Salang Kuning,
wilayah kerajaan Dayeuhluhur kemudian dipecah menjadi 3 Kademangan, yaitu:
Kademangan Dayeuhluhur dipimpin langsung oleh Gagak Ngampar, Kademangan
Majenang dengan pusat di Gunung Padang dipimpin oleh Candi Laras, dan
Kademangan Sidareja dengan pusat di Pegadingan, Sidareja dipimpin oleh Candi
Kuning.
Adapun
rute jalan dari pusat karaton Salang Kuning adalah sebagai berikut:
· Ke
arah Kademangan Majenang : Salang Kuning – Beber – sisi sungai Cibaganjing –
hutan tutupan perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung – Candipura – Karang
Gendot – Salebu
· Ke
arah Kademangan Sidareja : Salang Kuning - Beber – sisi sungai Cibaganjing –
hutan tutupan perhutani – leutak (Kaduomas) – Cipicung – Candipura – Madura –
Cukang Leuleus – Cipari – Pegadingan
· Ke
arah Barat Daya : Salang Kuning – Cilulu – Matenggeng – Kamuning – Kuta (Jalur
1) – Panulisan (jalur 2)
· Ke
arah Barat : Salang Kuning – Cilulu – Matenggeng – Pongpet – Marga (Jawa Barat)
· Ke
arah barat laut : Salang Kuning – Sindang Langu – Pasir Manggu – Bingkeng –
Kaso (Jawa barat)
· Ke
arah utara : Salang Kuning – Hanum – Serang – Cikondang – dst
Mengingat bahwa kerajaan Dayeuhluhur
didirikan salah satunya kerena alasan hendak dijadikan benteng terhadap
serangan dari timur oleh kerajaan induk (Kawali), maka diduga rute jalan untuk
melakukan hubungan dengan kerajaan Kawali adalah menempuh jalur Barat atau
Barat laut.
b. Pasir Nangka
Pada waktu pengaruh Mataram Islam menguat, kerajaan Dayeuhluhur
pun terkena imbasnya, ditandai dengan Adipati Raksapraja yang kemudian memeluk
agama Islam. Karaton Salang Kuning nampak kurang memenuhi syarat sebagai pusat
pemerintahan kerajaan yang memeluk agama Islam. Diantaranya adalah masalah
kebutuhan air. Maka pusat pemerintahan atau karaton dipindahkan ke Pasir nangka
yang relatif memenuhi syarat untuk perkembangan tata cara kehidupan secara
agama Islam.
Bukti-bukti adanya karaton Pasir Nangka adalah:
1) Adanya
2 buah kolam yang sekarang disebut Sawah Situ. Menurut bahasa sunda, Situ
berarti kolam besar. Pada waktu lampau, di daerah tersebut banyak ditemukan
tambang ijuk sebagai bekas tanggul kolam.
2) Di
daerah Pasir Nangka terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Putri, tempat
para putri bersantai.
3) Di
sebelah barat Pasir Nangka terdapat kuburan yang disebut Pasarean Kulon, itu
berarti orang yang menyebut ‘kulon/barat’ tentu berada di timur.
4) Di
sebelah utara pusat kerajaan (Pasir Nangka) disebut Gunung Purwa yang maknanya
‘awal/permulaan’
5) Di
sebelah selatan Pasir nangka, di jalur selokan (sumber air) pernah ditemukan
bekas bangunan masjid kuno.
Raja-raja yang memerintah di istana Pasir
Nangka diduga kuat merupakan raja yang sudah memeluk agama Islam atau sudah
terpengaruh Mataram Islam, dimulai dari Adipati Raksapraja.
Sebagaimana kebanyakan karajaan di tatar
Pasundan yang lain, kerajaan Dayeuhluhur pun tidak meninggalkan warisan bangunan yang terbuat dari batu, sehingga
sangat sulit menemukan jejak/bekas karaton
kerajaan.
Langganan:
Postingan (Atom)